[CHAPTER 1] The Maiden Who Travels The Planet

FINAL FANTASY VII

The Maiden Who Travels The Planet

(Benny Matsuyama) On The Way To A Smile(Kazushige Nojima)


Pengantar

“On The Way to A Smile” merupakan salah satu bagian dari tujuh cerita pendek yang ditulis Kazushige Nojima yang juga sebagai penulis scenario game RPG Final Fantasy VII dan movie Advent Children. Setiap cerita memiliki sudut pandang sendiri dari setiap karakter yang bersetting 2 tahun antara akhir dari FFVII dan awal dari film Advent Children.

Cerita berawal dari Case of Denzel yang di bagi menjadi 4 bagian, bagian pertama di publikasikan dalam website official FFVII: Advent Children pada 5 September 2005, yang seminggu sebelumnya telah rilis movie CG-nya (CG = Computer Graphic). 2 minggu setelah movie rilis, bagian-bagian yang lain juga di publikasikan.

Cerita ke 2, Case of Tifa mengikuti namun tidak di publikasikan melalui web. Tetapi melalui buku berjudul “Final Fantasy VII: Advent Children – Prologue” yang rilis bebarengan dengan movie-nya. Isi dari cerita ini berfokus kepada hubungan antara Cloud dan Tifa.

2 tahun kemudian, cerita ke 3 “Case of Barret” rilis yang di kemas dengan edisi terbatas dari movie-nya pada 20 Februari 2007 di Amerika Utara. Mengambil setting pada cerita ke 2 (Case of Tifa), Barret pergi mencari energy baru untuk planet, yang berakhir pada movie itu sendiri.

Pada tanggal yang sama Advent Children rilis dalam bentuk Blu-ray pada 16 April 2009, 4 bagian cerita lain dari “On The Way to A Smile” pun mengikuti, yang merupakan sisa bagian dari cerita yang dulu (Case of Denzel, Case of Tifa, Case of Barret) yaitu Case of Nanaki, Case of Yuffie, Case of Shinra dan Case of Lifestream.

Tidak lama setelah bagian pertama dari Case of Denzel muncul pada movie website, sebuah buku panduan FFVII di publikasikan oleh Studio Bentstuff berjudul Final Fantasy VII: Ultimania Omega. Disamping berisi panduan game, buku tersebut juga berisi cerita pendek yang tidak termasuk dalam “On The Way to A Smile” berjudul “The Maiden who Travels the Planet”.

Cerita di tulis oleh Benny Matsuyama berfokus pada Aerith yang mengarungi Lifestream dan bersetting di tengah game FFVII. Meskipun tidak ditulis oleh penulis asli scenario FFVII di bawah naungan Square-Enix. Sebelum FFVII:AC (baca Final Fantasy VII: Advent Children), Nomura mendatangi staff Bentstudio dan berkata bahwa ia ingin buku baru untuk FFVII agar pada fans dapat menikmati memainkannya lagi. Seperti  game yang telah usang, ini merupakan jalan terbaik yang bisa di lakukan. Disamping panduan dalam game, buku yang memiliki 592 halaman ini juga penuh dengan detil tentang FFVII termasuk analisis ceita dan lokasi yang masih memegang konsep original dari FFVII.

The Maiden Who Travels The Planet

Prolog

Di dalam air….

Aerith tenggelam. Tenggelam dengan ekspresi bak ia tertidur, ia benar-benar jatuh ke dalam dingin dan heningnya danau. Bias cahaya matahari menyinari tubuhnya yang lemas. Seakan mencoba ingin selalu melindunginya.

Wajahnya terlihat cantik ketika ia bersemangat. Dapat memberikan rasa tenang dan menyenangkan orang-orang di sekitarnya, ia tak pernah marah, dan tak pernah menangis….. Namun semua itu tak akan pernah terulang kembali.

Tubuhnya lemas diam membisu.

Tetapi, ini bukan berarti akhir baginya. Ia masih bisa melihat. Ia memang tidak melihat dari mata hijau indahnya, tetapi melalui jiwanya… Ia meilhat teman-temannya penuh semangat. Ia bagai melihat semuanya telah menjauh. Ia meilhat ekspresi kabur orang-orang dari sisi lain dunia (dunia dimana ia hidup dan dunia dimana ia sekarang berada). Ia melihat ekspresi Cloud yang sangat terpukul ketika kehilangannya, marah dan putus asa meilhat kau pergi dari sisinya.

“Jangan salahkan dirimu. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja meskipun Meteor akan jatuh. Jadi, jangan salahkan dirimu sendiri atas semua yang telah terjadi. Bangkitlah dan kembalilah menjadi dirimu sendiri.”

Ia ingin mengatakan itu namun apadaya bibirnya enggan berucap. Tak ada sihir yang mampu membuat ia dapat meraih tubuh Cloud melalui jiwa dan raganya yang telah terpisah jarak. Cahaya yang mengitarinya perlahan pudar dengan semakin dalamnya ia tenggelam. Tubuhnya perlahan menuju dasar Centra Ruins, The Forgotten City. Aerith, ‘kunci’ terakhir yang akan melindungi planet ini. Tempat akhir dimana ia dapat beristirahat dan tak peduli dari mana ia berasal….

Bagian 1

Ya, tak peduli dari mana ia berasal.

Ia telah sampai di dasar danau. Tapi Aerith masih tetap tenggelam.

Setelah bertahun-tahun raganya tenggelam, di kelilingi dataran yang terselimuti salju, semuanya menjelaskan bahwa tia elah hidup selama 22 tahun dalam keabadian. Raga yang telah terpisah dari jiwanya perlahan-lahan menuju Tanah Suci (Great Earth) di tengah-tengah genangan air suci.
Aerith terus maju ke dalam tingkatan yang lebih rendah.

Tak ada yang berubah saat seperti ia menarik nafas di antara debu yang melayang di sekelilingnya. Aerith terus tenggelam menuju tebalnya endapan dasar. Satu-satunya yang dapat ia lihat hanyalah kegelapan….tapi entah kenapa ia merasa hangat, dan situasi tersebut tidak membuat ia merasa kesepian.

Ia segera tersadar bahwa bukan debu dan lumpur di sekelilingnya. Tubuhnya telah disesuaikan sehingga ia bisa merasakan hal-hal di sekitarnya. Ke lima panca indranya berada dalam tingkat yang lebih tinggi sehingga ia bisa merasakan perasaan suatu benda.

Dunia yang ia lihat sekarang bukanlah kegelapan.

Ia berada di dalam cahaya hijau samar yang mengelilingi tubuhnya. Di waktu bersamaan, ia memastikan apa yang ia lihat. Energi yang memisahkan antara ribuan hingga jutaan aliran mengalir dan tersebar di setiap sudut planet. Membanjiri cahaya yang menelan ia dari peristirahatannya. Jumlah energi Mako yang orang-orang gunakan dalam kehidupan tak sebanding dengan apa yang ia lihat.

Aerith melihat jika Planet berada dalam kerusakan. Ia melihat kilauan cahaya Lifestream yang mengelilingi Planet tersebut. Ia menyadari bahwa sumber dari kehidupan akan kembali ke awal mulanya.

Itu adalah sebuah tempat yang penuh energi dari jiwa yang tak terhitung jumlahnya yang bersama-sama dengan pengetahuan dan pengalaman hidup. Termasuk juga kenangan yang mereka tinggalkan. Tetapi Aerith itu ‘kosong’. Ia tetap menjadi dirinya sendiri meskipun di tempat ia mati sekalipun, menjadi dirinya sendiri seperti saat ia masih hidup. Ia masih seorang Aerith Gainsborough yang sekarang sedang mengarungi Lifestream.

Ia tidak tahu ia akan menjadi apa nantinya.

Kali terakhir ia mengunjungi Cetra, ia mempertahankan Great Erath dengan sisa hidupnya. Aerith berbicara dengan Planet. Berbicara akan ‘apa itu’ Lifesream. Ia mengatakan bahwa kematian dirinya bukanlah akhir dari hidupnya.

Sebagian besar manusia yang mati akan menjadi tak berdaya. Terlelap dalam kegelapan, tak bisa berjalan lagi, tak bisa memahami apa-apa. Mereka mati dengan keberadaan jiwa yang di hapus total. Karena itu mengapa orang takut akan kematian. Mereka takut dengan hilangnya keberadaan hidupnya. Termasuk juga ketika mereka menyadari akan pendeknya roda kehidupan, mereka sangat ingin menolak hokum tersebut. Meskipun mereka telah beranjak tua sebelum akhir hayatnya.

Aerith tahu bahwa kematiannya bukanlah akhir dari kehidupannya. Ia juga tahu bahwa Cetra akan menjadi tempat terakhirnya melakukan tugas akhirnya untuk melindungi Planet. Itulah mengapa ia memiliki perasaan sangat yakin bahwa kematiannya akan terjadi dalam hidupnya kelak. Ia menyelesaikan tugasnya tanpa rasa takut. Hati dan perasaannya sangat damai bagi seseorang yang telah kehilangan kekuatan untuk berbicara dengan Planet, mengatakan bahwa kematiannya merupakan hal yang wajar. Ia tak menyesal dengan harapannya ketika ia masih hidup karena ia berhasil menyelesaikan tugas tersebut.

Meskipun begitu, ia merasa sedih. Hatinya merasa sakit.

Dengan semua teman-teman dalam petualangannya, orang-orang terdekatnya, ibunya yang merawat ia selama 15 tahun, Elmyra, orang-orang yang belum pernah ia temui…. Itu semua adalah faktanya kalau ia pernah hidup di dunia ini.

Aerith tahu pasti bahwa orang-orang yang ia tinggalkan akan merasa sedih. Mereka tidak tahu kalau ia akan terus ada di hatinya. Mereka tak perlu tahu. Meskipun mereka berharap demikian, kesedihan yang telah mereka alami takkan terobati meskipun mereka tahu kebenarannya. Karena semua orang tahu bahwa penderitaan akan membuat rasa sakit semakin dalam.

Aerith makin tersakiti jika ia memikirkan Cloud.

Ia punya rasa terhadap Cloud. Pertama kali mereka bertemu, Aerith merasa bahwa Cloud mempunyai kemiripan dengan cinta pertamanya (Zack). Meskipun dalam penampilan dan suara mereka tak sama dan Cloud merupakan orang misterius bagi Aerith…. Tapi itu bukan masalah. Aerith mencintainya lebih besar daripada cinta pertamanya. Cloud adalah pahlawannya dan Cloud tak pernah membiarkan Aerith berada dalam bahaya. Aerith melihat bahwa Cloud adalah orang yang penuh rahasia, keren dan seseorang yang akan menghilang jika ia melihat matanya. Aerith ingin bersama dengan ia selamanya. Ya, ia sangat mengiginkan itu.

Ketika Aerith pergi secara tiba-tiba menuju Forgotten City, perasaan Cloud menjadi terpecah belah. Seakan akan dapat meledak kapan saja, tetapi ia dapat menahan segala ekspresinya. Aerith sebenarnya tak ingin membuat Cloud khawatir. Jika ia bukan penyelamat Cetra, Aerith tak akan pernah ragu untuk bersama Cloud selamanya.

Bagaimanapun juga….

Pria dengan pakaian hitam dan muka pucat berambut silver, yang akan menjadi satu-satunya musuh, yang akan menimbulkan “malapetaka dari langit”, Jenova dan semua sifat kegilaanya. Pria itu ingin memanggil sihir penghancur yang luar biasa, Meteor dengan menggunakan Black Materia. Karena Aerith adalah satu-satunya yang dapat menjadi ‘kunci’ di Cetra, ia tak punya pilihan lain selain menghentikan rencana keji pria itu. Cepat atau lambat, Sephiroth pasti akan memanggil Meteor raksasa yang dapat menimbulkan kerusakan parah pada Planet. Tanpa diragukan lagi, Planet pasti membutuhkan Lifestream dalam jumlah yang sangat besar untuk dapat sembuh dari ‘luka’nya. Jika rencana Sephiroth berhasil, ia akan bergabung menjadi satu dengan Planet dan akan menjadi Tuhan. Ia mungkin akan membantai semua manusia yang benci dengan kematian. Masa depan Planet akan berakhir seperti kiamat yang dapat Sephiroth mainkan sesukanya.

Aerith dapat mendengar bisikan Planet yang berpura-pura bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Ia juga tahu hanya dia yang bisa mendengarnya, ‘kunci’ terakhir Cetra. Ia kemudian mencari tahu apa yang sedang terjadi di Forgotten City. Namun saat ia mempelajarinya ia juga tahu tentang rencana mengerikan Sephiroth.

Itulah yang Aerith ragukan. Membiarkan seluruh manusia binasa atau ia akan pergi untuk mengubah semuanya…. Tetapi ia tak pernah peduli dengan semua itu dan selalu siap. Disaat ia meninggalkan Cloud dalam suasana hati yang ragu, ia akan berpikir tentang apa yang terjadi jika ia tak menyelamatkan orang-orang dan teman-teman sepetualangannya. Aerith memikirkannya dengan matang. Bahwa tidak ada pilihan lain yang tersisa. Sebagaimana Cloud pun juga demikian.

Dengan begitu, ia menuju altar di Forgotten City untuk melakukan apa yang harus ia lakukan. Tentu saja, sebagai ‘kunci’ terakhir Cetra, yaitu ‘White Materia’ yang akan di turunkan Cetra… Dengan takdir sebagai ‘kunci’ terakhir Cetra, nantinya dapat memanggil ultimate White Magic Holy untuk melawan Meteor. Itu merupakan Materia yang di percayakan kepada Aerith oleh ibu kandungnya, Ilfana. Aerith tak pernah menggunakannya sebelumnya dan ia selalu menyembunyikan Materia itu di balik pitanya. Aerith memiliki White Materia. Ia berdoa dengan segenap hatinya. Dengan Materia, ia berbicara kepada Planet agar di bantu untuk memanggil White Magic Holy untuk menghancurkan Meteor.

Meskipun ia ragu apakah doanya dapat di dengar Planet. Tetapi ia tetap melakukan segalanya sebelum Sephiroth menusuknya. Ia telah siap untuk mati dan menanggung resikonya, pedang panjang menghujam tepat jantungnya. Meskipun begitu ia masih terlihat tersenyum.

Terdengar suara tangisan pecah.

Bukanlah tangisan Aerith. Jika Aerith merasakan derita karena darah yang menyembur dari tenggorokannya dan jeritan kesakitan jauh dari hatinya. Cloud pun berbeda, ia merasakan hatinya pecah melihat kenyataan pedih tepat di depan matanya melihat Aerith mati, membuat Cloud marah dengan dirinya sendiri dan menaruh kebencian luar biasa pada Sephiroth.

Aerith terkejut melihat reaksi Cloud ketika kehilangan dirinya. Ia merasa senang bahwa dirinya begitu berarti bagi Cloud. Takkan ada yang bisa Aerith lakukan tentang penderitaan Cloud dan rasa sakit hati yang di alaminya.

Rasa sakit Cloud pasti akan terus membekas meskipun sekarang Aerith mengarungi Lifestream.
Meskipun Aerith telah kehilangan raganya, ia mengakui akan rasa bersalah teman-temannya saat kehilangan dirinya. Aerith menunduk sambil meletakkan kedua tangannya di antara jantungnya yang telah berhenti berdetak….. Tak lama kemudian, ia menyadari sesuatu.

Tak terhitung banyaknya kehidupan di sekelilingnya. Banyaknya bisikan suara dan kepingan kenangan. Orang-orang di sekitarnya merasa tidak pernah kehilangan saat ia masih berada di dalam gereja di Midgar. Sepertinya, jiwa dan semua kenangan akan dirinya akan selalu di kenang meskipun ia telah meninggalkan dunia ini.

Meski begitu, Aerith tak dapat melihat apa yang dapat ia sebelumnya. Dari sisi ini, ia hanya dapat melihat kepingan-kepingan bayangan masa lalu dirinya di antara penuhnya lautan energi.

“Aku ingin tahu…. Mengapa aku seorang Cetra?”

Sebuah kalimat yang Aerith terus bisikkan. Disini, kata-kata dan pikiran adalah hal yang sama. Selama ia terus sadar, pikiran dan perasaannya hanya dapat di ekspresikan melalui gelombang yang ia pancarkan. Sama halnya dengan banyaknya jumlah kenangan yang berada di Lifestream juga menyatu dengan gelombang yang ia pancarkan. Di sekeliling yang ia dengar ada suara bisikan-bisikan mengapa ia tidak mempunyai sifat egois, jika begitu ia pun tak seharusnya berada di sini.

“Aku berharap kata-kataku dapat Cloud dengar…”

Aerith menghembuskan nafas dengan sedikit rasa tidak puas. Ia tidak berpura-pura mendengar banyaknya macam suara di lautan energi ini dan suara-suara di dalam energi Mako. Karena pengalaman ia mendengar suara dari Planet pada saat ia masih sangat muda, ia mencari banyak perhatian pada orang-orang di sekitarnya.

Tapi ia mengerti bahwa takdir lah yang menyebabkan semua ini. Seperti air di antara sungai yang mengalir, semuanya menjadi tak terelakkan. Tidak peduli cara apapun yang ia lakukan, pasti ia akan kembali menjadi salah satu energi yang memiliki kesadaran di dalam luasnya Lifestream.

“Tetapi Lifestream seharusnya juga merupakan Cetra seperti diriku. 15 tahun yang lalu Ibu kandungku mati karena ia juga seorang Cetra…. Sekarang, mungkin giliran diriku akan menjadi satu dengan Planet”

Dengan memiringkan kepalanya, ia mulai berpikir tentang hal itu.

“Akankah aku bisa berbicara dengan Cloud di suatu tempat? Aku ingin memberitahunya kalu aku baik-baik saja…. Agak aneh rasanya jika aku mengatakan baik-baik saja mungkin seharusnya aku mengatakan kalau semua telah berjalan seperti seharusnya :)”

Aerith mengira mungkin ia bisa menjelaskan tentang perasaanya terhadap Cloud jika berada disini. Kemudian mungkin mereka akan terlihat seperti keluarga atau sepasang kekasih…. Selama hidupnya di Midgar, ia merasa banyak orang yang menyatakan cinta padanya.

“Tapi apakah diriku akan segera menghilang jika aku bertemu Cloud? Aku khawatir jika itu yang akan terjadi atau masih adakah sesuatu yang bisa ku lakukan…?”

Pada saat itu, seketika Aerith merasakan sesuatu seperti gelombang kejut listrik pada dirinya. Ia mengepalkan salah satu tangannya dan memukul telapak tangan satunya. Seperti yang ia duga, bayangan dirinya juga melakukan persis yang ia lakukan, dan ia mendengar suara dengan jelas, “BANG!!”.

“Semuanya masuk akal. Ada arti dari semua ini. Harus ada alasan mengapa diriku belum bergabung dengan Lifestream dan mengapa aku masih disini dengan wujud asliku. Seperti yang ku kira ada sesuatu yang harus Planet lakukan sebelum memanggil White Magic Holy…. Masih ada satu hal tersisa yang harus ku lakukan”

Seketika pikiran itu terlintas di benaknya, ia merasa mendengar bisikan-bisikan kecil dari Planet. Itu bukan terdengar seperti satu-dua bisikan, melainkan terdengar seperti bisikan Planet secara keseluruhan yang seolah-olah mengkonfirmasi apa yang ia pikirkan.

“…. Aku penasaran, apa sebenarnya itu?”

Pertanyaan Aerith di jawab dengan keheningan sekejab. Seakan Planet juga tahu apa yang sedang Aerith tanyakan.

Aerith tersenyum seperti saat ia berjualan bunga di Midgar, di antara sinar neon yang lembut, senyum indah yang di cintai semua orang yang melihatnya.

“Baiklah. Masih ada orang-orang yang tak ingin aku untuk berpisah. Belum saatnya aku untuk tidur. Hingga saatnya tiba, aku akan tetap di sini untuk sementara waktu. Aku akan habiskan waktu ku di sini bersama dengan Planet…. Di Promised Land….”

Aerith melihat langit sambil mengucapkan keinginannya itu… yang terlihat seperti sebuah pelindung. Partikel-partikel dari energi Mako yang mengambang dan terlihat seperti langit malam baginya.
Aerith menatap langit dan ia merasa seperti duduk di samping Cloud yang saat ini berada di antara api unggun di Cosmo Canyon…………

Chapter 2 bisa di baca disini

[CHAPTER 1] The Maiden Who Travels The Planet [CHAPTER 1] The Maiden Who Travels The Planet Reviewed by iqbalSP on 04:41 Rating: 5

No comments:

Advertise